Fenomena KUA

KUA tak selalu kependekan dari Kantor Urusan Agama


Ada yang mengartikan bahwa KUA tak ubahnya jari manis Departemen Agama. Sebuah simbolisasi yang mengandung makna ganda ; bisa positif, bisa juga negatif. Kalangan awam ada yang memplesetkan KUA adalah kependekan dari Kantor Urusan Asmara. Sebuah plesetan yang patut kita renungkan. Karena, walau hanya sebuah plesetan, ia bisa bermakna penyempitan peran ; hanya berkutat disekitar masalah pernikahan. Atau bisa juga sebuah sindiran halus terhadap beberapa orang oknumnya (termasuk pembantu PPN) he he he.


Namun, bila KUA diartikan sebagai Kantor Urusan Apa (?) tentu akan membuat kuping memerah. Ini sama saja dengan menyangsikan, meragukan atau mempertanyakan kembali peran dan fungsi KUA di masyarakat.


Meskipun banyak istilah dan kadang diplesetkan, yang pasti KUA adalah ujung tombak Departemen Agama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dari KUA lah, masyarakat merasakan langsung makna keberadaan Depag bagi kehidupan mereka sehari-hari. Mulai dari urusan pernikahan, konsultasi keluarga dan rumah tangga bermasalah, pembinaan dan konsultasi keagamaan, zakat, wakaf dan ibadah sosial, hisab dan rukyat, pangan halal dan kemitraan umat, keluarga sakinah, pembinaan kemasjidan, konsultasi waris, pemberantasan buta huruf Al-Qur’an hingga urusan pemberi informasi dan bimbingan manasik haji.


Tak kalah pentingnya, KUA ternyata sering juga ‘diperalat’ pemerintah untuk mengkampanyekan berbagai program nasional seperti di bidang kesehatan, kependudukan dan KB, pencegahan dan penanggulangan penyakit menular, aids/narkoba dan wajib belajar 9 tahun. Belakangan, keampuhan KUA secagai corong sosialisasi, juga dimanfaatkan kalangan penegak hukum melalui penyuluhan sadar hukum serta pembinaan kerukunan umat beragama. Singkat kata, hampir tak ada satupun urusan penting di negari ini yang tidak melibatkan Departemen Agama (baca KUA), minimal sebagai motivator.


Sedemikian luasnya wilayah garapan KUA tersebut, tak salah bila ada yang mengartikannya Kantor Urusan Apa saja; segala hal, segala bidang, segala issu strategis. KUA adalah miniatur Departemen Agama di kecamatan.


1. Over load

Pertanyaannya kemudian adalah; sudah paralelkan wujud kedirian KUA dibandingkan dengan tugas, peran dan fungsi yang diembannya? Sudahkah pemerintah memberikan hak yang seimbang dengan kewajiban yang dipikulnya?.

Melihat potret diri KUA saat ini, kita merasa miris, bahkan patut mengasihaninya. Ibarat postur tubuh yang kurus, kecil, ceking dan kurang gizi, memikul beban yang banyak, besar, berat, yang menggelantung disekujur tubuh. Ia sepeti keledai yang kelebihan beban ; ringkih dan tertatih-tatih.

Menyebut sedikit dari banyak fakta ‘ringkih’ itu, adalah : (1) Jumlah SDM di KUA mayoritas tak memenuhi standar minimal (6 orang), bahkan masih banyak KUA di daerah-daerah yang single fighter (petarung tunggal). (2) Struktur eselon jabatan Kepala KUA baru IV/b, hanya setara dengan sekretaris kelurahan. (3) KUA masih berstatus unit kerja, bukan satuan kerja. (4) Anggaran DIPA KUA relatif kecil (hanya Rp. 13 juta-an setahun) dan pengelolaannya tidak mandiri, tetapi ikut nebeng ‘dompet’ Urais Kandepag Kabupaten/Kota. (5) Urusan dinas kemana saja tidak pernah diberi fasilitas SPPD dan (6) Belum semua KUA memiliki fasilitas kendaraan dinas dan komputer.


2. Realistis

Mungkin karena beban kerjanya yang banyak dan berat, dengan kondisi yang serba terbatas, pada akhirnya menyebabkan banyak KUA lebih berkonsentrasi di bidang pernikahan saja. Ini tentu sikap yang tidak tepat, tetapi cukup rialistis. Logikanya, bagaimana mungkin dapat melaksanakan tugas yang sedemikian banyak, sedang sumber dayanya sangat terbatas.

Untuk dapat menghayati kondisi keterbatasan di KUA ini, perlu dicermati per bidang tugas. Pembinaan Keluarga Sakinah (KS), misalnya. Program ini terkesan jalan di tempat. Hingga saat ini mungkin belum ada satupun KUA yang memiliki database KS yang secara utuh memotret dan memetakan kondisi KS secara akurat dengan segala hirarkinya. Data KS yang ada saat ini hanya sebatas hasil pengamatan, bukan hasil sensus. Memang, ada alokasi dana DIPA untuk pembinaan KS, tetapi hanya cukup untuk sekadar melaksanakan sosialisasi dan pengenalan konsep. Itu pun dengan sasaran sangat terbatas. Hanya kepada segelintir orang ; tokoh agama dan tokoh masyarakat.

Sekadar perbandingan, di Biro Pusat Statistik (BPS) atau lembaga lainnya, pendataan untuk memetakan suatu keadaan, hitungannya adalah per jiwa atau per kepala keluarga atau per rumah tangga. Tak ada satupun pendataan yang gratisan. Pendataan adalah proyek yang melibatkan banyak hal ; piranti keras dan piranti lunak, koordinator, fasilitator dan kader yang jumlahnya di sebuah kecamatan mencapai belasan orang. Dus dengan alokasi anggaran puluhan juta rupiah.

Lain lagi dengan urusan zakat dan wakaf. Mengelola bidang ini, perlu kegigihan, SDM yang mengerti akuntansi, mobilitas tinggi (karena harus bolak-balik ke instansi/badan/lembaga lain) dan modal besar untuk membangun pencitraan positif. Jelas SDM di KUA kalah disemua line dibanding lembaga-lambaga swadaya lainnya seperti Rumah Zakat Indonesia, Dompet Dhu’afa atau Dhu’afa Tersenyum yang notabene didukung tenaga akuntan yang sangat komputerise. Kondisi yang sama juga terjadi di bidang pembinaan keagamaan, kemasjidan, pangan halal dan kemitraan ummat.

Berdasar pengamatan penulis, kondisi lesu darah juga mulai menjangkiti pernikahan. Jantung pelayanan KUA ini ternyata tengah diporoti secara halus dengan terbitnya beberapa regulasi dalam 3 tahun terakhir. Misalnya, terbitnya aturan penghapusan uang bedolan, larangan memungut biaya tambahan selain biaya pencatatan, instruksi penataan P3N yang mengakibatkan berkurangnya jumlah pembantu PPN secara drastis, mekanisme pencairan dan penggunaan dana pembinaan NR (DIK-S) yang tidak otonom dan berbagai keterbatasan lainnya.

Fakta-fakta inilah yang kemudian menyebabkan sebagian KUA lebih berkonsentrasi pada urusan perkawinan saja. Tugas bidang lainnya terkesan dianaktirikan. Maka, akhirnya, KUA pun nyaris menjadi sekadar Kantor Urusan Asmara (terkesan hanya mengurusi pernikahan saja-red).


3. Ujung Tombak

Sejatinya, keberadaan KUA adalah ujung tombak Departemen Agama yang benar-benar memberikan pelayanan secara langsung kepada masyarakat. Tak hanya di bidang pernikahan, juga kemasjidan, Zawaibsos, pembinaan keagamaan, pangan halal, kemitraan ummat, pembinaan KS, hisab dab rukyat, pelayanan infomasi dan bimbingan manasik haji. Di KUA juga ada penyuluh agama, penilik pendidikan agama dan juga melaksanakan berbagai kegiatan lintas sektoral. Bahkan, setelah 20 tahun UU Peradilan Agama, masyarakat masih banyak yang datang bertanya tentang waris dan faraid ke KUA.


Melihat dari Tugas pokok dan fungsi (Tupoksinya) yang sangat luas itu, patut kiranya segera dilakukan beberapa perubahan :


Pertama, Sangat wajar bila eselon jabatan kepala KUA ditingkatkan dari IV/b menjadi IV/a. Kedua, Sudah saatnya KUA dijadikan satuan kerja dan mengelola secara otonom DIPA-nya sendiri. Ketiga, Pelaksanaan tugas oleh staf terhadap suatu bidang pelayanan, harus mengacu pada standar target capaian. Keempat, Motorisasi dan komputerisasi KUA suatu kemutlakan, dan Kelima, Rasionalisasi jumlah sumber daya dengan beban tugas dan kondisi wilayah.


Usaha-usaha strategis kearah pencapaian kelima macam perubahan tersebut, sebetulnya sudah dicanangkan Direktorat Urusan Agama Islam semenjak tahun 2004 lalu. Sebagian kecil memang sudah menampakkan titik terang, selebihnya masih kabur. Meskipun demikian, kita tetap yakin dan optimis. Dengan kerja keras dan dedekasi tinggi, perubahan-perubahan itu setahap demi setahap akan tercapai. Tentu saja perlu dorongan yang kuat dari bawah. Secara berjenjang dorongan itu kita lakukan agar membentuk bola salju. Terus menggelinding dan kian membesar hingga tidak bisa lagi dibendung. Kuncinya, tidak akan ada perubahan tanpa kerja keras dan pengorbanan.


Yang lebih penting lagi, bagaimana segenap jajaran di KUA membuktikan benar-benar dapat memainkan peranan strategis dalam pembangunan di bidang keagamaan di masyarakat. Sebagai ujung tombak pelayanan, KUA harus mampu memberikan pelayanan secara prima dan menerapkan prinsif-prinsif good governance. Pelayanan yang menyanangkan, memuaskan, birokrasi yang sedernana, cepat, tepat, transparan dan akuntabel.


Bagi anda yang saat ini bekerja di KUA, banggalah ! Hitam-putih Deparatemen Agama ada ditangan anda. Bekerja dengan baik, taat azas, berdedikasi dan istiqamah. Selebihnya, serahkanlah semuanya pada Tuhan. Bravo KUA, dirgahayu Departemen Agama




1 komentar:

mudah-mudahan lah yaaa kantor kementerian Agama untuk secepatnya diberlakukan REMUNERASI. Tugas dan fungsi Kementerian Agama kan ibaratnya NGURUSI NEGARA DALAM NEGARA yang begitu luas cakupan fungsionalnya. Tul Gak....
Yalah akupun pegawai kemenag koq he..he..

Balas